Jakarta, Kompas
DITA (35, bukan nama sebenarnya) mengaku agak kesal ketika anaknya, Dony (5), tidak diterima di sebuah sekolah dasar yang sudah menjadi favorit Dita.
Padahal, sejak dulu Dita ingin sekali anaknya bisa belajar di sekolah itu karena sudah sering didengarkan keberhasilan sekolah itu dalam mendidik muridnya. Sekolah tersebut menolak menerima Dony karena umur Dony belum genap enam tahun ketika tahun ajaran baru dimulai.
PADAHAL, usia Dony genap enam tahun jatuhnya pada bulan Agustus. Jadi, sebenarnya dia hanya kurang satu bulan saja, tetapi tetap saja dia tidak diterima," ungkap Dita kesal.
Dony memang diterima di sebuah sekolah lain yang sebenarnya tidak kalah kualitasnya dengan sekolah yang diinginkan Dita. Hal ini tentu saja membuat Dita heran. Mengapa ada sekolah-sekolah yang begitu ketat soal umur anak yang hendak menjadi murid baru, sementara ada juga sekolah yang tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Sedangkan Evi (40) mengaku sungguh capek karena setiap hari harus mengantar putranya, Arief (6), mengikuti berbagai macam kursus tambahan. "Saya ingin mencari bakat yang ada dalam diri Arief. Makanya dia saya ikutkan ke berbagai macam kursus. Jika memang dia tidak tertarik, tentu dia akan malas. Nyatanya, dia sangat senang dan selalu bersemangat untuk mengikuti kursus-kursus itu. Tetapi buat saya sendiri, yang ada badan capek karena harus mengantar dia ke berbagai tempat kursus," cerita Evi.
Menurut dia, walaupun Arief mengikuti kursus Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris, sempoa, dan piano, pelajarannya di tingkat taman kanak-kanak tidak ketinggalan. "Hanya saja, setelah Arief masuk SD (sekolah dasar), saya akan kurangi kursusnya karena beban pelajaran di SD juga sudah berat," ujar Evi yang menyisakan kursus piano dan menggambar buat Arief.
Evi sendiri mengaku tidak tahu apakah tindakan yang dilakukannya tersebut benar atau tidak bila dilihat dari sisi pendidikan anak. Dia hanya berpegang pada niatnya untuk memberikan yang terbaik buat putranya. Dia berharap, bila Arief sudah dewasa, anak itu mempunyai kemampuan lebih untuk bersaing dengan yang lain.
KAPAN sebenarnya anak sebaiknya diperkenalkan dengan sekolah atau kursus tambahan?
Menurut Dr Christine Chen, Presiden Association for Early Childhood Educator Singapore (semacam persatuan guru di Singapura), dan Tang Hui Nee, psikolog pendidikan dari Singapura, sangat bergantung pada kesiapan mental si anak.
"Setiap anak memiliki tingkat pencapaian kedewasaan yang berbeda-beda. Jika memang dia tidak siap, jangan paksakan dia karena itu tidak akan membuat dia bisa menikmati semuanya," kata Tang yang hadir di Indonesia dalam rangka peresmian Pelangi, sebuah lembaga pendidikan bagi para pengajar dan orangtua yang tertarik pada pendidikan usia dini.
Pendapat yang sama juga dikemukakan Christine. Menurut dia, ketika pindah dari Amerika Serikat ke Singapura, dia melihat putra pertamanya tidak siap mengikuti pelajaran di Singapura.
"Seharusnya dia naik ke kelas II. Tetapi saya tetap meminta gurunya untuk menempatkan putra saya di kelas I. Secara akademik, dia memang mampu. Tingkat inteligensinya juga tinggi, yakni lebih dari 130. Tetapi saya lihat dia membutuhkan penyesuaian untuk segi sosial dan emosionalnya. Dia belum siap di bidang itu," ujar Christine.
Keputusan yang diambil Christine itu ternyata tepat. Memang jika dilihat dari faktor waktu, putranya rugi satu tahun. Akan tetapi, secara mental, sang putra tumbuh dengan baik, lebih matang, dan bisa bertanggung jawab.
"Putra saya juga bisa menjalani masa-masa adaptasi dengan baik tanpa dibebani dengan pelajaran baru. Jika dia tetap masuk ke kelas II, suatu saat nanti bisa terjadi hal-hal yang tidak terduga," lanjutnya.
Pemerintah Singapura juga telah memutuskan, setiap guru harus melihat kesiapan anak-anak untuk mengikuti jenjang pendidikan selanjutnya. Jika memang dinilai belum siap, walaupun secara akademik dan usia telah mencukupi, anak itu tidak akan diizinkan naik ke jenjang selanjutnya.
Mengenai orangtua yang berduyun-duyun ingin menjejali anaknya dengan berbagai macam kursus, menurut Tang, hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Singapura gejala itu pun terjadi.
"Ketika saya memasukkan putri saya yang berumur lima tahun untuk kursus piano, saya dipandang aneh. Orang Singapura sudah memasukkan anaknya ke kursus piano sejak anak berusia tiga tahun. Anak saya jadi yang paling tua di kelas itu," kata Tang.
Walau mendapat tatapan aneh dari lingkungan sekitar, Tang mengatakan tidak peduli. Hal yang terpenting baginya adalah putrinya merasa bahagia dengan apa yang dijalaninya. "Saya tidak mau merampas masa-masa bermain anak dengan berbagai macam kursus yang bisa dijalaninya nanti. Jika dipaksakan, nanti anak merasa bosan dan tidak menikmatinya. Hasilnya akan sia-sia saja. Biarkan anak berkembang sesuai waktunya tanpa paksaan," ujar Tang.
Apa yang dikatakan Christine dan Tang ini agaknya telah terjadi pada Endang (43) terhadap putrinya, Tasa (12). Tasa yang masuk jenjang SD ketika berusia 5,5 tahun dan dua kali mengikuti kelas akselerasi memang beruntung dari sisi menghemat waktu tiga tahun. Jadi, saat dia duduk di kelas I SMA, usianya baru 12 tahun. Padahal, teman-teman sekelasnya berusia 15 atau 16 tahun.
"Secara akademik, Tasa bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Tetapi, secara emosional, dia beberapa kali harus terbentur masalah. Dirinya yang masih muda harus bergaul dengan teman-teman yang lebih tua. Hasilnya, omongan di antara mereka tidak nyambung dan akhirnya Tasa tidak memiliki teman," kata Endang.
Tasa tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan teman-teman sesama kelas I SMA karena dia masih tertarik pada hal-hal yang berbau anak-anak, misalnya film kartun. Sedangkan teman-temannya yang sudah beranjak remaja tidak lagi tertarik pada film kartun. Mereka lebih tertarik pada masalah cinta, jerawat, majalah remaja, dan sebagainya.
Jika memang ada risiko yang harus dihadapi berkaitan dengan usia anak dan pendidikan, tinggal orangtua yang harus menimbang keputusan terbaik yang harus diambil untuk masa depan anaknya bukan demi kebanggaannya sebagai orangtua.
Biar bagaimanapun, apa yang diputuskan orangtua ikut berperan dalam masa depan anak. Orangtua harus mengingat, kesuksesan seseorang tidak hanya bergantung pada nilai akademik semata, tetapi ada faktor-faktor lain yang menentukan, seperti kematangan emosi dan kemampuan anak itu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. (ARN)
sumber www.kompas.com
No comments:
Post a Comment